Mengaplikasikan Kebiasaan Rubath di Majelis Pimpinannya

Sepulangnya dari belajar di Rubath Al-Jufri selama kurang lebih tujuh tahun, Habib Ridho langsung terjun ke masyarakat. Ia berupaya agar dapat mengaplikasikan pengetahuannya ditengah umat. Ia mengasuh sebuah majelis rutin mingguan, yakni sebuah kegiatan pengajian khatam Al-Quran. Ia juga melakukan pengkaderan beberapa orang santri , mereka kemudian mengajak jama’ah lainnya untuk bergabung dalam majelis tersebut. “Ana mencontoh kebiasaan di rubath dulu, yang setiap Kamis ba’da subuh ada halaqah membaca Al-Quran dengan membagikan juz juz kepada santri-santri. Biasanya, dalam tempo beberapa pekan kemudian, halaqah itu berkumpul lagi untuk membaca doa khatam Al-Quran. Nah, ana aplikasikan tradisi di rubath itu disini, dengan membagikan satu atau dua juz kepada jama’ah. Lalu pada beberapa waktu kemudian setelah dikhatamkan kami berkumpul lagi untuk menggelar majelis doa khatam Al Quran”, katanya.

Sambil mengisi berbagai ta’lim tersebut, Habib Ridho melanjutkan studinya ke Institud Agama Islam Al-Aqidah, hingga selesai dan menyandang gelar S.Pd.I. Suatu ketika, enam atau tujuh tahun yang lalu, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, guru seniornya di Rubath Al-Jufri Madinah, berkunjung ke Jakarta. Kesempatannya untuk bertemu sang guru berbuah suatu amanah untuk mengasuh majelis yang namanya diberi langsung oleh Habib Salim Asy-Syatihiri, yakni “Majelis Al-Fath”, yang diambil dari nama masjid Al-Imam Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim.

Sistem dakwah yang ditekankan Majelis Al-Fath adalah melakukan pembinaan dan pengkaderan , baik di pusat maupun cabang cabang majelis, seperti di Menteng, Pasar Rumput, Klender, Pulo Gebang, Cipulir, Rawabelong. Di masing-masing cabang iu, kader kader yang telah senior dalam didikan Habib Ridho ditugasi untuk menjadi pemimpin majelis sekaligus manager yang mengatur kegiatan kegiatan dakwah, pendidikan, dan pengajaran agama. Cita cita sebahagian majelis asuhannya ini terwujud dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti TPA, PAUD, dan Madrasah Diniyyah. Bahkan target kedepan juga muncul lembaga seperti pesantren, yang diharapkan ada disetiap kelurahan. Adapun kurikulum nya digodok dengan meng-input materi materi yang didapati dari Rubath Al-Jufri dengan mengkondisikannya sesuai lingkungan dan keadaan setempat.

Intinya, bagaimana dakwah ini tidak sebatas ajang tabligh, tapi juga benar benar peran nyatanya terasa bagi masyarakat sekitar, apalagi di tengah ancaman derasnya budaya asing yang tak mendidik dan tak terkendali, seperti yang tampak dewasa ini. “Ini memang bukan kerja individu atau mengandalkan sosok pribadi, tapi ini jadi tanggung jawab semua pihak yang punya kepedulian,” demikian pandangan habib yang senang mengoleksi kitab ini.

Program jangka panjang majelis yang diasuhnya ialah membangun sebuah Islamic Centre lengkap dengan segala aktivitas dan sarana prasarananya. Alhamdulillah usaha usaha ini sudah mulai dirintis di kediamannya di Klender dengan membina sejumlah santri putra sejak tiga tahun lalu. Habib Ridho juga tengah merintis pembangunan pesantren yang lebih permanen diatas lahan seluas satu hektar di daerah Citeureup, Kabupaten Bogor.

Cita cita lainnya yang juga tak kalah luhur adalah membentuk tim pengajar agama dan pendakwah di kalangan terpelajar di perkantoran perkantoran dan pabrik pabrik di ibu kota dan sekitarnya. “Dakwah kita selama ini kan umumnya terfokus di masjid, mushalla dan majelis ta’lim. Ini sesuatu yang memang sangat baik, sudah umum, dan lumrah. Namun kita juga ingin menyasar ke kaum urban berpendidikan itu, lantaran kita selama ini dakwah dan perngajaran kita jarang yang masuk kekalangan itu”, ujarnya penuh semangat.

Habib Ridho menengarai, merebaknya masalah ditengah umat dewasa ini cukup memprihatinkan, dan ini tak lepas dari tipu daya musuh musuh islam. Umpamanya tentang fenomena kelompok Wahabi. Dakwah mereka merebak ditengah kaum terpelajar, mahasiswa dan pekerja perkantoran. Dalam dakwahnya mereka menyertakan permusuhan dan kebencian dengan hujatan atas dakwah kita. Melihat hal ini, Habib Ridho menjelaskan perlunya sinergi dakwah yang disesuaikan dengan dosis pengetahuan di masyarakat.

Masyarakat itu punya standar pengetahuan yang berbeda beda. Ajak mereka melihat amar ma’ruf nahi munkar , isi dengan pengetahuan pengetahuan agama disertai hujjah dan jawaban atas tuduhan sesat wahabi itu dengan ilmu bukan dengan emosi. Peran kita untuk menjawab semua tuduhan itu adalah merangkul mereka dengan dakwah ilallah dan dakwah yang bermuatan ilmu. “Seperti kita tahu, dalil dalil yang dituduhkan mereka kepada sikap keberagamaan kita ini sangat rentan , kaku, dan dangkal. Kita, Ahlussunnah, tidak kurang dalil. Dalil kita ini sangat penuh dan banyak,” katanya.

Alhamdulillah, bersama beberapa kawan yang aktif dalam dakwah, ia kini membangun sinergi dengan visi dan misi yang sama, seperti denga Habib Muhammad Ahmad Fad’aq, yang aktif menulis. Habib Muhammad Fad’aq diantaranya menulis kitab menangkis tuduhan bid’ahnya peringatan maulid, sebagaimana pernah diulas alKisah beberapa waktu lalu.

“Wahabi dari tahun 1900-an awal sudah ada, tapi ‘jualan-nya nggak laku. Di Madinah dan Makkah dari dulu banyak ulama kita yang jebolan sana. sedikitpun tak ada diantara kelompok Wahabi yang berani menghujat dakwah dan ta’lim ulama ulama kita, karena mereka sadar siap yang mereka hadapi. Mereka tek berani mengusung paham mereka dengan klaim ingin memurnikan ajaran agama dari hal hal yang mereka tuduhkan saat ini sebagaimana yang kita maklumi bersama . lihat saja, disana ada Syaikh Nawawi Banten, Habib Utsman bin Yahya, dan masih banyak lagi hingga yang terakhir ada Syaikh Yasin Al-Fadani, dan ada K.H. Hasbiyallah, ulama Betawi di kampung ini yang pernah mengenyam pendidikan disana. Ulama ulama kita dimasa itu banyak yang bermukim untuk mengajar disana. Kelompok itu tak berani untuk berdebat dan melempar tuduhan ini itu seperti yang ramai sekarang ini. Ini jadi tandanya apa? Fenomena apa?” katanya penuh perhatian.

Fenomena Wahabi yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini, menurutnya, memang sengaja dan cenderung diciptakan untuk memecah belah umat Islam, dan disana ada penyokong dananya, yang diambil keuntungan dengan perselisihan ini.

Berikutnya juga ada kecenderungan kaum Allamadzhabiyyah (anti madzhab), yang dengan konsepnya menyamaratakan yang keliru dan yang benar, menolak pandangan pandangan fiqih dan madzhab, bahkan menganggap bahwa era madzhab telah usang. “Mereka sendiri ingin membangun sebuah pemahaman baru, dengan fatwa fatwa yang lepas dari acuan yang dibakukan salaf. Seakan akan kedudukan mereka seperti para imam madzhab. Padahal mereka hidup dengan pemikiran yang telah terkontaminasi. Sedangkan para imam madzhab itu adalah generasi yang paling dekat dengan masa Nabi Muhammad saw dan yang dipuji beliau…,” katanya.

Jangan Cuma Nilai

Salah satu kritik yang dilontarkan Habib Ridho tentang kondisi pendidikan kita adalah mindset lebih menekankan output nya pada angka, nilai, bukan sikap pekerti (Suluk dan akhlaq). Orang orang dulu punya adab di hadapan orang tua, guru, saudara yang lebih tua, karena mereka diajarkan seperti itu. Dan guru juga mencontohkan bukan semata dengan kata kata, tapi juga sikap. Ketika belajar tentang zuhud, umpamanya, gurunya juga orang yang mencontohkan sikap zuhud itu. Tapi sekarang orang lebih mengejar nilai. Bukan kebiasaan atau kemahiran , apalagi aplikasi dalam kehidupan.

Sistem belajar orang orang dulu jauh lebih bagus . ketika murid duduk bersama gurunya dalam halaqah, mereka menyimak setiap perkataan guru dan terjalin hubungan ruhani dengan gurunya hingga diluar kelas (halaqah). Maka terbangunlah tarbiyyah ruh (pendidikan ruhani) di dalam lingkungannya. Guru benar benar menjadi teladan dalam aktivitas murid.

Masih menurut Habib Ridho, pola pikir yang tepat adalah pola pikir yang sebagaimana diajarkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , sedangkan kita kini dihadapkan pada pola pikir Barat, yang materialistis. Inilah perang ideology, yang sering luput dari perhatian kita semua. Maka dari itu, mencari ilmu dan wawasan boleh boleh saja dimasa kini yang serba mudah diakses, tapi carilah ilmu dan wawasan yang menambah manfaat buat bekal di akhirat kelak.

Mengakhiri perbincangan pagi itu, Habib Ridho berpesan , mengutip nasihat Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad, “Lazimkanlah Al Quran, ikutilah sunnah, dan ambillah teladan kaum salaf, sehingga hidayah Allah Ta’ala senantiasa mengiringi…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *